Pesan Kakek dan Pohon BuahNya
Terlihat beberapa telapak alas kaki berbeda tertinggal ditanah, dan ia yakin bahwa sekelompok orang telah membajak pohonya dengan amat kejam. Sontak ia berteriak dengan nada keras penuh kemurkaan “Agh..!! Sungguh manusia-manusia rakus !”
Badar Batu adalah sebuah nama desa yang letaknya jauh dari perbukitan. Namun meski demikian, tak sulit untuk mendapatkan air di desa tersebut. Desa yang terbagi menjadi dua wilayah itu terpisahkan oleh sebuah aliran sungai yang berasal dari perbukitan yang memang letaknya jauh, namun dapat sampai melewati desa Badar Batu tersebut. Setiap hari masyarakat desa Badar Batu memanfaatkan air dari sungai itu untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi dan cuci pakaian di sungai tersebut. Namun, baik sungai itu kering maupun tidak, jarang ada pohon buah yang dapat tumbuh meskipun telah tiba musim berbuahnya. Kebanyakan pohon buah yang ada hanya tumbuh tinggi dan tua sebagai batang kayu saja bukan menghasilkan buah sebagaimana pohon buah seharusnya. Akan tetapi anehnya, ada beberapa pohon buah yang meski berbeda macamnya, namun dapat hidup dan berbuah dalam satu tempat. Pohon tersebut adalah pohon kelengkeng, mangga, jambu dan rambutan milik seorang Kakek yang hidup di ujung desa Badar Batu. Keempat pohon buah itu subur dan menghasilkan buah yang besar-besar, bahkan pada musimnya pohon tersebut tidak henti-hentinya berbuah sebelum semua warga yang ada di desa Badar Batu dapat mencicipi buah tersebut . Konon, si kakek yang merupakan pemilik pohon tersebut menanam keempat pohonnya dengan cara yang tidak biasa, namun ia enggan memberitaukan kepada masyarakat yang ada prihal cara menanamnya. Karena ia takut masyarakat tidak mempercayai perkataanya tentang cara menanam keempat pohon itu. Si Kakek hanya mengatakan “Sudahlah, Saudara – saudara tak perlu menanam susah payah, cukup ambil dan makan saja buah-buahan ini ketika saudara ingin merasakan manisnya, toh rasa nikmatnya hanya cukup satu jengkal ditenggrokan to. Gak perlu repot – repot nanam bila akhirnya gagal to”. Memang sudah menjadi tradisi bagi sang kakek dan masyarakat sekitar rumahnya, ketika tiba masa berbuahnya sang pohon, masyarakat berkumpul dan mengadakan makan buah bersama di Pendopo dekat rumah si Kakek tersebut.
Si Kakek tua itu hidup bersama anaknya. Seorang Perempuan yang bersuamikan seorang sodagar dari kota yang letaknya lumayan jauh dari desa Badar Batu tersebut. Sejak anaknya menikah kakek tersebut hidup sendirian di desa. Namun rumahnya tak pernah sepi, selalu ada saja tetangga yang datang untuk sekedar mengajak kongkow dan guyonan tentang masalah hidup di rumah si Kakek. Sang kakek bekerja sebagai seorang pedagang buah . Buah-buahan yang ia jual tak lain hasil dari keempat pohonnya tersebut, ditambah beberapa tanaman seperti singkong dan umbi-umbian yang ikut meramaikan toko buahnya itu.
Suatu ketika terdengar kabar tentang meninggalnya sang kakek tersebut. Masyarakat desa Badar Batu pun menggalang duka, anaknya yang hidup dikota, datang untuk menghantarkan sang ayah ke pemakamannya. Hari berganti hari dan bulan pun menggiring detak detik waktu dalam setiap harinya menuju bulan – bulan baru, sang anak yang sebelumnya tinggal bersama suaminya di kota. Kini memutuskan untuk tinggal didesa meneruskan usaha si kakek yang setelah diperhitungkan memiliki peluang keuntungan yang besar ketimbang gaji pekerjaan suaminya di kota yang kadang tidak tentu dan tidak menjanjikan.
Awalnya kehidupan di desa Badar Batu berjalan seperti biasa lagi setelah meninggalnya sang kakek. Namun setelah setengah tahun berlalu, tradisi yang ada di Rumah tersebut mendadak lenyap. Musim buah tiba. Seperti biasa, pohon buah yang ada di desa Badar Batu hanya menumbuhkan bunga saja tanpa mau menghasilkan buah dari adanya bunga tersebut. Dan keempat pohon yang ada di halaman rumah bekas tinggal kakek yang sekarang adalah milik anak dan menantunya, menunjukan perbedaanya dengan pohon lain. kesuburan buahnya tampak bergelantungan menghiasi rerimbunan daun hijau yang ada pada pohon – pohon tersebut. Membuat tupai, si binatang pelompat handal sepanjang sejarah itu pun mengecapkan lidah. Tak luput dengan nafsu mencicipi manusia yang terkenal rakusnya.
Namun musim buah kali ini berbeda. Tradisi makan buah yang biasa diadakan di Pendopo milik sang kakek setiap tiba musim buah itu pun kini tak terlaksana, bahkan kebebasan para binatang yang berupaya mengambil haknya dari rebutan manusia ketika mendengar adanya buah yang jatuh dari pohon - pohon itu pun kini dihapuskan. Pasalnya buah yang biasanya terjun bebas dari pohon menuju tanah kini di tangkap oleh sebuah jaring lebar yang dibentangkan oleh pemilik barunya.
Seseorang lelaki paruh baya yang merupakan tetangga rumah yang biasa datang untuk Ngangso bersama sang kakek pun bertanya kepada pemuda yang merupakan suami dari anak sang Kakek, “ Kenapa jaring itu dipasang?, biasanya Kakek membiarkan mangga-mangganya itu jatuh sebagai sedekah kepada binatang tanah dan bahkan memanen mangga itu untuk sebagianya dijadikan untuk menu pesta makan buah di Pendopo ini bersama masyarakat, namun kenapa sekarang berbeda? ”. “ Wah Pak. Mubadzir kalo mangganya dibiarkan jatuh ketanah dan membusuk di tanah, oh iya kalo bapak mau mangganya silahkan itu dikeranjang ada. Bapak boleh mencicipi barang satu atau dua buah. Mangga itu murah pak kalau beli sekilonya lima ribu rupiah” kata sang pemuda.
Mendengar jawaban dari pemuda tersebut si lelaki paruh baya itu terheran - heran, sambil menahan rasa panas yang menggelora dalam dadanya ia berkata “kok harganya mahal, biasanyakan sekilo hanya tiga ribu?” “Semua buah harganya sudah naik pak, apa lagi disini juga langka buahkan. Nah harganya sedemikian, bila bapak mau ya silahkan memilih sendiri” jawab sang pemuda. Lelaki itu pun lantas pergi begitu saja karena tak tahan mendengar perkataan pemuda yang cenderung pelit dan harus serba duit. read more
Comments
Post a Comment